Oleh: Antonio Gilberth Ogilvie Niron
Pemilu 2024 merupakan pemilu yang dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia. Pemilihan ini dilaksanakan untuk mencari pemimpin yang berpedoman pada prinsip-prinsip demokrasi. Rakyat berjibaku dengan Tim Sukses untuk mencari sosok pemimpin terbaik versi masing-masing.
Sejak beberapa dekade pelaksanaan Pemilu di Tanah Air, tak terlepas dari yang namanya politik identitas. Ania Loomba, Homi K. Bhabha dan Gayatri C Spivak telah melakukan berbagai kajian untuk mendalami sosiologi terhadap konsep ini.
Ketiganya berkesimpulan bahwa politik identitas merupakan sebuah konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek, di dalam ikatan suatu komunitas politik, yang akan mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas, baik itu dalam identitas politik maupun identitas sosial. Sangat dipahami bahwa politik identitas sebagai sumber dan sarana politik dalam pertarungan perebutan kekuasaan politik kian terlihat dalam praktek politik kekinian dan itu terjadi di Indonesia saat ini.
Politik identitas merupakan perilaku politisi yang melakukan cara dimana identitas sosial seperti ras, etnis gender, agama dan kelas untuk mempengaruhi perilaku, sikap politik dan memobilisasi masyarakat. Tentu di Indonesia memiliki banyak ragam budaya yang ada, sehingga di setiap daerah berbeda untuk budayanya termasuk dalam budaya politik.
Pada dasarnya di Indonesia, politik berlandaskan demokrasi yang berdinamika, keanekaragaman, sehingga tidak heran politik identitas ini bisa saja terjadi. Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa yang menjadi faktor utama dari politik identitas ialah perbedaan keberagaman di Indonesia.
Politik identitas di indonesia sering dianggap buruk, tidak adil dan kotor bagi masyarakat, sebagai salah satu cara untuk memperkuat suatu kelompok, sehingga kelompok yang dianggap kecil akan ditindas.
Salah satu contoh yang dilihat dari politik identitas di Indonesia yakni, jika mayoritas masyarakatnya beragama Islam, dimana bahwa pemimpin harus beragama Islam. Memang benar dalam agama diajarkan demikian, namun hal tersebut sering pakai oleh politisi untuk memanfaatkan Kyai, Ustadz dan Santri, sehingga praktek seperti ini dianggap tidak etis.
Contoh kongkrit lainnya, yakni Pilkada Jakarta 2017, politik identitas telah membuat kekalahan Calon Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, meski sebagian besar Rakyat Jakarta merasa puas atas kepemimpinannya. Kondisi ini membuktikan bahwa politik identitas dapat mempengaruhi proses pemilu. Olehnya, praktek ini sangat disayangkan jika dipergunakan jelang pemilu saat ini, apalagi dengan pluralismenya rakyat Indonesia saat ini akan memunculkan sikap etnosentris.
Pemilu 2024 yang dilaksanakan di Indonesia saat ini diharapkan agar melahirkan seorang pemimpin yang dapat mementingkan kepentingan negara, sehingga tujuan negara terlaksanakan. Jika seorang pemimpin hanya lebih mementingkan kelompoknya saja, maka demokrasi tidak akan berkembang secara baik. Demokrasi yang tidak berkembang secara baik, maka berdampak pula pada ancaman keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, munculnya kelompok-kelompok separatis di beberapa wilayah di Indonesia. Politik identitas juga berdampak buruk pada merubahnya ideologi bangsa. Ideologi bangsa yang sudah berubah maka keutuhan Negara pun akan tersobek-sobek.
Meski banyaknya dampak negatif dari konsep politik identitas di atas, namun politik identitas juga memiliki dampak positif terhadap partisipasi politik masyarakat. Peningkatan partisipasi pemilih itu ditandai dengan meningkatnya rasa keterwakilan masyarakat terhadap calonnya.
Sebenarnya Donald L Morowitz (1998), salah satu pakar politik dari universitas Duke telah mendefinisikan politik identitas sebagai pemberian garis yang sangat tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak. Garis penentuan ini sangat jelas dan akan terlihat bersifat permanen.
Sementara, Agnes Heller misalnya, seorang ilmuwan yang bergelut dalam wacana politik identitas, mencoba menafsirkan kembali dalam logika yang sangat sederhana dan lebih operasional, bahwa politik identitas adalah sebagai sebuah gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah pada suatu perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama. Dia lebih memfokuskan pembedaan, dimana konsepnya adalah menjanjikan kebebasan, toleransi, dan kebebasan bermain (free play), meski pada gilirannya akan memunculkan pola-pola intoleransi, kekerasan dan pertentangan etnis, rasisme, bio-feminisme, environmentalism (politik isu lingkungan), dan perselisihan etnis.
Meski demikian, politik identitas jika dilihat dari pengaruh positifnya. Politik identitas adalah politik yang tidak melanggar batas-batas peradaban Bangsa ini, politik yang mengedepankan nasionalisme dalam pluralisme Indonesia saat ini, yakni pertama, memajukan identitas daerah. Jika dalam pemilu, para calon yang menggunakan politik identitas, maka dia mempergunakan konsep ini untuk mengembangkan daerahnya, karena dia orang dari daerah tersebut.
Kedua, politik identitas pun dapat meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Politisi yang mempraktekkan politik identitas maka dia akan menggalang dukungan dari masyarakat. Jika sudah ada yang mewakili, maka masyarakat akan memberikan suara dan ikut kegiatan politik. Ketiga, memobilisasi suatu kelompok. Jika para calon menggunakan konsep politik identitas, maka akan lebih condong memenangkan pemilu, karena mereka lebih gampang untuk mendapatkan dukungan, karena dekat dengan rakyat. Keempat, penguatan Identitas Budaya. Politik identitas bisa memperkuat kesadaran akan identitas budaya dan membantu melestarikan kebudayaan lokal. Ini memberikan ruang bagi kelompok-kelompok dengan identitas khusus untuk mempertahankan warisan budaya mereka dalam proses politik.
Konsep politik identitas yang digunakan para calon seharusnya bertujuan untuk memperkuat dan mempersatukan Bangsa Indonesia, bukan untuk memecah belah suatu bangsa. Penggunaan konsep politik identitas, tergantung cara para politisi di Indonesia memaknainya dalam konsep nasionalisme. Deputi IV Kepresidenan, Juri Ardiantoro menegaskan, politik identitas jangan sampai merusak atau identitas yang dipakai untuk politik kebencian. Harusnya identitas untuk memperkuat persatuan, dan bukan untuk politik pecah belah.
Olehnya, yang harus digarisbawahi oleh para calon pemimpin yang akan bertarung di Pilkada November mendatang yakni politik identitas harus dikaji dan dipergunakan untuk mencapai tujuan negara, memperkuat nasionalisme Bangsa.
*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas
(2310831030)